Soal: Kita melihati bahwa bom
manusia adalah satu cara yang digunakan oleh orang Islam untuk melawan
musuhnya, yang seringkali digunakan oleh rakyat Palestina untuk melawan Israel.
Dalam mensikapi aksi ini, para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Ada
yang mengatakan bahwa hal ini adalah haram, dan ada sebagian yang mengatakan
bahwa bom manusia adalah halal. Lantas pendapat mana yang lebih rajih (kuat)?
Jawab: I. Pendahuluan
Bom manusia —atau apa yang sering disebut bom bunuh diri— merupakan satu faktor
signifikan dalam Krisis Palestina, karena mempunyai pengaruh efektif terhadap
kebijakan politik di Palestina. Misalnya aksi bom manusia pada 12 Juni 2002 di
Yerusalem yang mengakibatkan 20 warga Israel tewas dan 40 lainnya terluka.
Kejadian ini membuat PM Israel, Ariel Sharon, menyatakan akan tetap menolak
pendirian negara Palestina sampai aksi bom itu berhenti total.*1)
Di samping signifikansi aspek politis tersebut, aspek lain aksi bom manusia
yang menarik adalah timbulnya pro kontra yang cukup tajam di kalangan para
ulama dan cendekiawan mengenai hukumnya dalam fiqih Islam. Sebagian mengharamkannya
sementara sebagian lainnya membolehkannya. Jurnal Inquiry and Analysis Series
mendiskusikan soal legitimasi hukum bom manusia itu setidaknya sampai tiga
bulan, dari Mei sampai Juli 2001. Yang terlibat dalam polemik ini tak hanya
ulama fiqih, tetapi juga pakar politik, pengamat dunia Islam, serta kalangan
pers. Diskusi antardispilin ilmu praktis terhenti ketika terjadi Tragedi 11
September di AS.*2)
Selain dalam jurnal ilmiah berbahasa Inggris, debat hukum bom manusia juga
marak dalam media massa berbahasa Arab. Mufti Saudi Sheikh Abdul Aziz Abdullah
Al-Sheik, pada majalah Al-Sharq Al-Awsat yang terbit di London, 21 April 2001
menyatakan. bahwa aksi suicide bombers (pelaku bom “bunuh diri”) itu bukan
bagian dari jihad dan hanya merusak citra Islam. Dua hari kemudian, Yusuf
Al-Qaradhawi dalam harian Al-Raya, 25 April 2001, terbitan Qatar, membantah
fatwa mufti Saudi tersebut. Lalu dua hari berikutnya, 27 April 2001, dalam
hariah Al-Hayat, Syaikh Al-Azhar Muhammad Sayyed Tantawi, menguatkan keabsahan
aksi bom manusia dan berkomentar bahwa operasi bom itu adalah bagian dari
jihad.*3)
Pro kontra hukum bom manusia juga mendorong sebagian ulama untuk menulis kitab
khusus yang mendiskusikan hukumnya dalam perspektif fiqih Islam. Di antaranya
adalah Nawaf Hail Takruri yang menulis kitab Al-‘Amaliyat Al-Istisyhidiyah fi
Al-Mizan Al-Fiqhi*4) dan Dr. Muhammad Tha’mah Al-Qadah yang mengarang kitab
Al-Mughamarat bi An-Nafsi fi Al-Qital wa Hukmuha fi Al-Islam.*5) Sementara itu
Dr. Muhammad Khair Haikal mendiskusikan hukumnya dalam kitabnya yang sekaligus
juga disertasi doktornya, Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar’iyah.*6)
Pro kontra inilah yang mendorong penulis untuk memilih tema hukum bom manusia
dalam fiqih Islam. Kejelasan hukum syara’ sangat dibutuhkan dalam masalah yang
amat krusial ini. Ini dikarenakan perbedaan yang ada cukup tajam dan mengandung
berbagai implikasinya baik di dunia maupun di akhirat. Bagi mereka yang
menganggap aksi bom manusia sebagai aksi bunuh diri (‘amaliyat intihariyah), maka
implikasinya kepada para pelakunya ialah tidak diberlakukan hukum-hukum mati
syahid. Dia akan dipandang sebagai orang hina karena berputus asa menghadapi
kesulitan hidup. Di akhirat, pelakunya dianggap akan masuk neraka, karena telah
bunuh diri. Sedang bagi mereka yang menganggap aksi bom manusia sebagai aksi
mati syahid (‘amaliyat istisyhadiyah), maka implikasinya kepada para pelakunya
adalah diberlakukan hukum-hukum mati syahid. Dia dianggap sebagai pahlawan dan
teladan keberanian yang patut dicontoh. Dan di akhirat insyaAllah akan masuk
surga.
Dalam makalah ini penulis memilih istilah “bom manusia”, sebagai terjemahan
harfiyah dari sebagian literatur atau media berbahasa Inggris yang menyebut
aksi pemboman ini dengan istilah “human bombing”. Istilah tersebut penulis
pilih karena bersifat netral dan objektif. Sedangkan istilah lain, seperti “bom
syahid” atau “bom bunuh diri” penulis anggap lebih bersifat subjektif dan
kurang netral.*7)
II. Perumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan yang telah dipaparkan sebelumnya, masalah yang ada
penulis rumuskan sebagai berikut:
1. Apakah bom manusia itu?
2. Bagaimana pendapat para ulama beserta dalil-dalilnya mengenai hukum bom
manusia, baik yang melarang maupun yang membolehkan?
3. Manakah pendapat yang rajih (kuat) dari dua pendapat itu menurut
kaidah-kaidah tarjih dalam disiplin ilmu ushul fiqih?
III. Metode Pembahasan
Dalam rangka menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas, metode
pembahasan yang penulis akan tempuh adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan fakta bom manusia itu sendiri yang menjadi pangkal pembahasan.
Dalam uraian mengenai fakta bom manusia ini, akan dijelaskan bagaimana secara
teknis pelaksanaan bom manusia di lapangan. Penjelasan ini akan dilengkapi
dengan data-data historis dan statistik mengenai bom manusia di Palestina.
2. Menjelaskan pendapat para ulama baik yang melarang maupun yang membolehkan
aksi bom manusia. Akan dijelaskan juga dalil-dalil dari masing-masing pendapat
tersebut.
3. Mendiskusikan dan mentarjih dua pendapat tersebut untuk mencari pendapat
yang kuat (rajih).
Metode yang dipakai dalam penulisan makalah ini pada dasarnya adalah studi
literatur (library research) dengan pendekatan perbandingan (comparative).
Literatur yang digunakan adalah berbagai buku tentang hukum bom manusia,
misalnya karya Takruri (2002), Al-Qadah (2002), ataupun Haikal (2002) seperti
telah disebutkan di atas. Juga dimanfaatkan berbagai data dan informasi dari
dunia maya (internet) yang relevan. Adapun perbandingan dan tarjih yang
dilakukan, didasarkan pada kaidah-kaidah tarjih dalam ushul fiqih, baik yang
terdapat dalam kitab ushul fiqih secara umum, seperti Al-Ihkam fi Ushul
Al-Ahkam karya Saifuddin Al-Amidi*8) dan kitab Irsyadul Fuhul karya Imam
Asy-Syaukani*9), maupun kitab ushul fiqih yang secara khusus membahas masalah
kaidah tarjih, seperti kitab Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’,
karya Dr. Muhammad Wafaa.*10)
IV. Fakta Bom Manusia
Pemahaman akan fakta yang menjadi sasaran penerapan hukum, sangat fundamental
dalam proses istinbath hukum syara’ atau penerapan (tathbiq) hukum syara’. Para
ulama ushul fiqih telah membuat rumusan bahwa hukum syara’ terhadap suatu fakta
adalah cabang dari gambaran atau pengetahuan tentang fakta itu (al hukmu ‘ala
asy-syai` far’un min tashawwurihi wal ‘ilmi bihi).*11)
Atas dasar itu, penulis akan mencoba memaparkan lebih dahulu fakta-fakta yang
berkaitan dengan bom manusia sebelum menyampaikan berbagai pendapat ulama
mengenai fakta bom manusia. Fakta-fakta ini penulis bagi menjadi empat bagian,
yaitu: (1) definisi bom manusia; (2) data historis; (3) data statistik, dan (4)
informasi teknis pelaksanaan bom nanusia itu sendiri.
A. Definisi
Definisi bom manusia, menurut Muhammad Tha’mah Al-Qadah adalah aktivitas
seorang mujahid yang melemparkan dirinya pada kematian untuk melaksanakan tugas
berat, dengan kemungkinan besar tidak selamat, akan tetapi dapat memberi
manfaat besar bagi kaum muslimin.*12)
Menurut Nawaf Hail Takruri, bom manusia adalah aktivitas seorang (mujahid)
mengisi tas atau mobilnya dengan bahan peledak, atau melilitkan bahan peledak
pada tubuhnya, kemudian menyerang musuh di tempat mereka berkumpul, hingga
orang tersebut kemungkinan besar ikut terbunuh.*13) Dapat juga penyerangan
dilakukan pada berbagai sarana transportasi bermuatan banyak orang, seperti
bus, pesawat terbang, kereta api, dan sebagainya. Dapat pula teknis
pelaksanaannya dengan berpura-pura menyerah kepada musuh, kemudian ketika dekat
dengan mereka dan memperoleh kesempatan, ia meledakkan bahan-bahan peledak yang
dibawanya, sehingga menimbulkan banyak korban, baik yang terbunuh, terluka,
atau mengalami kerusakan bangunan, dan termasuk juga terbunuhnya pelaku
peledakan sendiri.*14)
B. Data Historis
Di Palestina, aksi bom manusia telah berlangsung setidaknya dalam 23 bulan
terakhir (hingga September 2002).*15) Tepatnya, hal itu bermula ketika Sejak
Syeikh Ahmad Yasin —tokoh spiritual Hamas dan inspirator gerakan jihad yang
masih ada— merestui upaya Nabil Arir (24 tahun) meledakkan permukiman Israel di
Kota Gaza, pada 26 Oktober 2000.
Para pelaku aksi pada umumnya berasal dari berbagai kelompok Islam yang
melakukan jihad dan perlawanan terhadap Israel, yaitu Brigade Al-Qosam, Brigade
Al-Aqso, Hamas, Al-Fatah, Hizbullah, Islamic Jihad, dan Popular Front for the
Liberation of Palestine (PFLP). Menurut investigasi The Guardian, Brigade
Al-Qosam —sayap militer Hamas— merupakan pemasok relawan jihad terbesar di
Palestina. Dalam 56 aksi bom syahid terakhir (hingga Juli 2002), kelompok ini
memasok sekitar 20 kadernya. Urutan berikutnya adalah kelompok Brigade
Al-Aqsho, Islamic Jihad, dan Popular Front for the Liberation of Palestine
(PFLP). Masing masing menyumbang 14, 11, dan dua mujahid.*16)
C. Data Statistik
Aksi bom manusia yang dilakukan di Palestina sejak bulan Oktober tahun 2000 telah
mengakibatkan gugurnya 250 mujahid, yang umumnya berusia di bawah 30 tahun.
Sebagian besar mereka adalah kaum muda yang sedang berada dalam usia produktif
dan dinamis. Bahkan, dalam 56 aksi terakhir, pelakunya berusia di bawah tiga
puluh tahun. Tiga orang di antaranya adalah wanita: Wafa Idris (27 tahun), Ayat
Al-Akhras (16 tahun) dan Dari Abu Aysheh (20 tahun).*17)
Harian Yedioth Aharonot terbitan Israel, pada bulan Mei 2001 mempublikasikan
data tentang tipikal para pelaku aksi bom manusia tersebut sebagai berikut:
a. sebanyak 67% pelaku aksi adalah kalangan terpelajar. Setidaknya sejumlah 39%
pernah mengenyam bangku sekolah menengah atas (high school).
b. sebanyak 83% pelaku aksi adalah mereka yang masih lajang (single).
c. sebanyak 64% pelaku aksi berusia antara 18 hingga 23 tahun. Sisanya (36%),
hampir semuanya berusia di bawah 30 tahun.
d. sebanyak 68% pelaku aksi berasal dari penduduk Tepi Barat.*18)
Mengenai opini penduduk Palestina tentang aksi bom manusia itu sendiri, sebuah
jajak pendapat (polling) telah dilakukan oleh Palestinian Center for Public
Opinion (PCPO) yang dipimpin Dr. Nabil Kukali, pada akhir Mei 2001.
Respondennya adalah penduduk Palestina dewasa yang ada di Tepi Barat, Jalur
Gaza, termasuk juga Yerussalem Timur. Hasilnya adalah:
a. dalam jumlah mayoritas (76,1%) muslim Palestina mendukung aksi bom manusia.
b. sejumlah kecil responden (12,5%) menolaknya (tidak setuju).
c. sejumlah 11,4% dari responden tidak menyatakan pendapatnya (abstain).*19)
D. Teknis Pelaksanaan Aksi
Seorang pelaku aksi pemboman akan mengalami 4 (empat) tahapan yang harus
dilalui hingga dia menjalankan aksinya. Empat tahap itu adalah: (1) pengetesan
(seleksi), (2) rekrutmen, (3) persiapan, dan (4) pelaksanaan aksi. Semua
tahap-tahap ini umumnya dilaksanakan oleh berbagai brigade jihad yang ada di
Palestina.*20)
Pada tahap seleksi, seorang calon pelaku aksi akan dibawa ke kamp pelatihan dan
diamati terlebih dahulu perilakunya selama beberapa hari. Dilakukan juga
wawancara dan diskusi dengannya. Dalam seleksi ini, akan dinilai apakah seorang
calon pelaku aksi memenuhi kriteria yang ditetapkan. Menurut Sholah Syehada,
Komandan Batalion Al-Qossam, calon pelaku aksi harus memenuhi empat kriteria,
yaitu: (1) harus betul-betul seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam,
dan direstui oleh orangtuanya; (2) bukan merupakan tulang punggung keluarganya;
(3) memiliki kemampuan dan keahlian melakukan misi; dan (4) dapat menjadi
teladan bagi muslim lainnya agar mengikuti jejaknya.*21)
Pada tahap rekrutmen, seorang calon aksi berarti dinilai sudah memenuhi
kriteria-kriteria tersebut dan dianggap telah resmi bergabung dengan sebuah
brigade serta siap menjalankan misi.
Pada tahap persiapan, seorang calon digembleng selama 20 hari dalam kamp
pelatihan. Seorang instruktur akan melakukan diskusi mendalam dengan para calon
tentang agama Islam. Para calon juga diajak menonton video tentang para syuhada
dan menganalisis serangan yang telah dilakukan pendahulu mereka itu. Ketika
persiapan sudah komplet dan mantap, para calon memasuki tahap pelaksanaan aksi.
Pada tahap pelaksanaan aksi, seorang anggota dari unit lain akan menjemput
seorang calon dan menemaninya melakukan perjalanan akhir. Setelah deskripsi
tugasnya ditentukan, pengebom diberi tahu secara persis pada menit-menit
terakhir apa yang harus dilakukan, misalnya apakah ia akan menjadi pengebom
“bunuh diri” atau menyerang target dengan granat dan senapan sampai akhirnya ia
ditembak mati.
Bila ia ditentukan menjadi pengebom “bunuh diri”, dia segera mengenakan rompi
yang sudah diisi dengan 10 kilogram bahan peledak dan lima kilogram paku serta
baja. Ini kira-kira 15 menit sebelum ia diterjunkan ke sasaran. Di saat itulah
ia diberitahu secara persis sasaran yang harus dihancurkan dengan dirinya yang
sudah “berbaju” bom. Sasaran ini bisa berupa sebuah bus, pesawat terbang,
kereta api, sebuah gedung pertemuan umum, sebuah supermarket, jalan yang padat
pengunjung, dan sebagainya.
V. Pendapat Ulama
Secara garis besar terdapat dua pendapat ulama dalam masalah aksi bom manusia
tersebut, yaitu sebagian membolehkan dan sebagian lainnya mengharamkan. Di
antara ulama masa kini yang membolehkan adalah:
1. Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili (Dekan Fakultas Syariah Universitas Damaskus).
2. Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili (Ketua Jurusan Fiqih dan Ushul Fiqih Fakultas
Syariah Universitas Damaskus).
3. Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi (Ketua Jurusan Theologi dan Perbandingan
Agama Fakultas Syariah Universitas Damaskus).
4. Dr. Ali Ash-Shawi (Mantan Ketua Jurusan Fiqih dan Perundang-undangan
Fakultas Syariah Universitas Yordania).
5. Dr. Hamam Said (Dosen Fakultas Syariah Universitas Yordania dan anggota
Parlemen Yordania).
6. Dr. Agil An-Nisyami (Dekan Fakultas Syariah Universitas Kuwait).
7. Dr. Abdur Raziq Asy-Syaiji (Guru Besar Fakultas Syariah Univesitas Kuwait).
8. Syaikh Qurra Asy-Syam Asy-Syaikh Muhammad Karim Rajih (ulama Syiria).
9. Syaikhul Azhar (Syaikh Muhammad Sayyed Tanthawi).
10. Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi (ulama Mesir).
11. Fathi Yakan (aktivis dakwah Ikhwanul Muslimin).
12. Dr. Syaraf Al-Qadah (ulama Yordania).
13. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi (ulama Qatar).
14. Dr. Muhammad Khair Haikal (aktivis dakwah Hizbut Tahrir).
15. Syaikh Abdullah bin Hamid (Mantan Hakim Agung Makkah Al-Mukarramah).
Sementara itu ulama kontemporer yang mengharamkan aksi bom manusia antara lain:
1. Syaikh Nashiruddin Al-Albani (ulama Arab Saudi).
2. Syaikh Shaleh Al-Utsaimin (ulama Arab Saudi).
3. Syaikh Hasan Ayyub.
A. Dalil-Dalil Yang Membolehkan
Al-Qadah dalam kitabnya Al-Mughamarat bi An-Nafsi fi Al-Qital wa Hukmuha fi
Al-Islam telah menyebutkan sekitar 20 dalil syara’ yang mendasari bolehnya
melakukan aksi bom manusia, yang dihimpunnya dari pendapat-pendapat ulama yang
membolehkan aksi bom manusia ini.*23) Di antaranya adalah:
1. Firman Allah SWT
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri, dan harta
mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah,
lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari
Allah di dalam Taurat, Injil, dan al-Qur`an.” (Qs. at-Taubah [9]: 111).
Al-Qadah mengatakan bahwa wajhud dalalah (segi pemahaman dalil) dari ayat ini
adalah, bahwa perang di jalan Allah mempunyai resiko besar berupa kematian (wa
yuqtalun “dan mereka terbunuh”). Padahal kematian ini merupakan sesuatu yang
kemungkinan besar atau pasti akan terjadi pada aksi bom manusia. Akan tetapi
meski demikian, Allah SWT tetap memerintahkannya dan memberikan pahala surga
bagi yang melaksanakannya. Perintah Allah SWT ini menunjukkan izin dari Allah
untuk melaksanakannya.*24)
2. Firman Allah SWT:
“Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur (terbunuh) atau
memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang
besar.” (Qs. an-Nisaa` [4]:74).
Wajhud dalalah dari ayat ini, menurut Al-Qadah, adalah bahwa Allah SWT
menyamakan pahala orang yang gugur dengan pahala orang yang mampu mengalahkan
musuh karena membela agama Allah. Dan orang yang melakukan aksi bom manusia,
dalam hal ini termasuk dalam kategori orang yang gugur di jalan Allah tadi,
bukan termasuk orang yang bunuh diri. Sebab andaikata termasuk orang yang bunuh
diri, Allah tidak akan memberikan pahala besar baginya, tetapi malah akan
memasukkannya ke dalam neraka, seperti keterangan dalam hadits-hadits Nabi
Saw.*25)
3. Firman Allah SWT:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. al-Baqarah
[2]: 195)
Ayat ini tidak melarang aktivitas perang di jalan Allah yang dapat membuat diri
sendiri terbunuh. Atau dengan kata lain, membolehkan aktivitas perang semacam
itu. Dan aksi bom manusia termasuk aktivitas perang yang dapat membuat
pelakunya terbunuh. Pemahaman ini didasarkan pada penjelasan shahabat bernama
Abu Ayyub Al-Anshari yang mengoreksi pemahaman yang salah terhadap ayat
tersebut, yang dipahami sebagai larangan mengorbankan diri dalam
peperangan.*26)
Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Yazib bin Abi Habib telah
meriwayatkan dari Aslam bin Imran, yang berkata, ‘Kami berperang melawan
pasukan Konstantinopel dan pasukan saat itu dipimpin oleh Abdurrahman bin
Al-Walid. Pada waktu itu orang-orang Romawi telah merapat pada benteng kota.
Kemudian seseorang maju ke tengah barisan musuh. Ketika itu orang-orang
berkata, ‘Laa ilaaha illallah, ia menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan.’
Maka berdirilah Abu Ayyub Al-Anshari seraya berkata, ‘Subhanallah, Allah telah
menurunkan ayat ini pada kami sekalian orang Anshar. Ketika Allah telah
menolong Nabi-Nya dan menampakkan agama-Nya, kami orang Anshar berkata, ‘Kita
akan diam (tidak berperang) dan akan mengurus harta-harta kami. Kemudian
turunlah firman Allah “maka belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (Qs. al-Baqarah
[2]: 195). Dan yang dimaksud dengan menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan adalah
kesibukan kami mengurus harta dan meninggalkan jihad.”*27
Al-Qadah menyimpulkan, bahwa dengan demikian, ayat ini menunjukkan bolehnya
mempertaruhkan nyawa dalam peperangan, meskipun yakin akan terbunuh. Aksi bom
manusia termasuk jenis aktivitas seperti ini.*28)
4. Firman Allah SWT:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi
dan dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu)
kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang
kamu tidak mengetahuinya namun Allah mengetahuinya.” (Qs. at-Taubah [9]: 97).
Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan bahwa aksi-aksi bom manusia termasuk dalam bentuk
jihad yang paling besar. Aksi ini termasuk dalam aksi-aksi teror (irhab)
sebagaimana yang tertera dalam ayat di atas.*29)
4. Hadits Nabi Saw sebagaimana riwayat Imam Muslim berikut:
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah pernah pada Perang Uhud hanya
bersama tujuh orang Anshar dan dua orang dari kaum Quraisy. Ketika musuh
mendekati Nabi Saw, beliau bersabda, “Barangsiapa bisa menyingkirkan mereka
dari kita, ia akan masuk surga, atau ia bersamaku di surga.” Kemudian satu
orang dari Anshar maju dan bertempur sampai gugur. Musuh mendekat lagi dan
Rasulullah bersabda lagi, “Barangsiapa bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia
akan masuk surga, atau ia bersamaku di surga.” Kemudian satu orang dari Anshar
maju dan bertempur sampai gugur. Dan hal ini terus berlangsung sampai ketujuh
orang Anshar tersebut terbunuh.” [HR. Muslim].*30)
Ketika Nabi Saw mengatakan, “Barangsiapa bisa menyingkirkan mereka dari kita,
ia akan masuk surga…” adalah sebuah isyarat bahwa mereka akan terbunuh di jalan
Allah, dan dalam hal ini kematian hampir dapat dipastikan. Peristiwa ini
menunjukkan bolehnya mengorbankan diri sendiri —seperti halnya aksi bom
manusia— dengan keyakinan akan mati di jalan Allah.*31)
B. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan
Sebagian ulama seperti Nashiruddin Al-Albani dan Syaikh Shaleh Al-Utsaimin
mengharamkan aksi bom manusia. Berikut pendapat mereka dan dalil-dalilnya:
1. Syaikh Nashiruddin Al-Albani ketika ditanya hukum aksi bom manusia, beliau
menjawab bahwa aksi bom manusia dibenarkan dengan syarat adanya pemerintahan
Islam yang berlandaskan hukum Islam, dan seorang tentara harus bertindak
berdasarkan perintah pemimpin perang (amirul jaisy) yang ditunjuk khalifah.
Jika tidak ada pemerintahan Islam di bawah pimpinan khalifah, maka aksi bom
manusia tidak sah dan termasuk bunuh diri.*32)
2. Syaikh Shaleh Al-Utsaimin ketika ditanya mengenai seseorang yang memasang
bom di badannya lalu meledakkan dirinya di tengah kerumunan orang kafir untuk
melemahkan mereka, beliau menjawab bahwa tindakan itu adalah bunuh diri.
Pelakunya akan diazab dalam neraka Jahannam dengan cara yang sama yang
digunakan untuk bunuh diri di dunia, secara kekal abadi. Beliau berdalil dengan
firman Allah SWT yang melarang bunuh diri:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (Qs. an-Nisaa` [4]: 29).
Beliau juga berdalil dengan hadits-hadits Nabi Saw yang melarang bunuh diri,
seperti hadits Nabi Saw:
“Barangsiapa yang mencekik lehernya, ia akan akan mencekik lehernya sendiri di
neraka. Dan barang siapa yang menusuk dirinya, ia akan menusuk dirinya sendiri
di neraka.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].*33)
VI. Diskusi Dan Tarjih
Dengan mendalami pendapat masing-masing baik yang membolehkan maupun yang
mengharamkan aksi bom manusia, penulis berpendapat bahwa pendapat yang kuat
(rajih) adalah pendapat yang membolehkan aksi bom manusia. Aksi ini menurut
penulis bukanlah tindakan bunuh diri dan dengan demikian pelakunya insya Allah
akan mendapatkan surga, bukan neraka.
Parameter yang penulis gunakan untuk menilai pendapat yang lebih kuat adalah
ketepatan penggunaan dalil terhadap fakta yang menjadi permasalahan. Hal ini
sangat penting mengingat salah satu langkah penting dalam proses istinbath
hukum adalah fahmul waqi’, atau memahami fakta yang menjadi sasaran penerapan
hukum. Untuk dapat menerapkan suatu ketentuan fiqih secara tepat, seorang faqih
harus mengetahui fakta yang akan dihukumi. Thaha Jabir Al-Alwani ketika
menyebutkan pengertian fiqih, menyatakan bahwa fiqih adalah pengetahuan seorang
faqih (ahli fiqih) terhadap hukum suatu fakta (al-waqi’ah) yang diambil dari
dalil-dalil yang rinci dan parsial yang telah ditetapkan Asy Syari’ (Allah)
untuk menunjukkan hukum-hukumnya.*34) Definisi ini mengisyaratkan satu hal
penting yang harus dimiliki seorang faqih, yaitu pengetahuan tentang fakta
permasalahan (al-waqi’ah). Maka dari itu, sebagaimana ditegaskan oleh Yusuf
Al-Qaradhawi, di antara sebab-sebab kesalahan fatwa adalah ketidakpahaman
tentang masalah yang ditanyakan, sehingga keliru menerapkan nash-nash syara’
yang dimaksud dengan kejadian yang sebenarnya.*35)
Memahami fakta dengan baik ini, menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, adalah
langkah pertama dari seseorang yang akan mengistinbath hukum syara’ untuk fakta
itu. Menurut An-Nabhani metode yang harus ditempuh seorang mujtahid dalam
mengistinbath hukum adalah: pertama, mengkaji masalah yang ada sehingga
dipahami dengan sempurna; kedua, mengkaji nash-nash syara’ yang berkaitan
dengan masalah tersebut; ketiga, mengistinbath hukum syara’ untuk masalah
tersebut dari dari dalil-dalil syar’i.*36)
Fakta yang harus dipahami dan menjadi objek penerapan hukum syara’ ini oleh
An-Nabhani disebutnya dengan istilah manath, yang menurut beliau manath adalah fakta
yang padanya akan diterapkan suatu hukum syara’ (al-waqi’ alladzi yuthabbaqu
‘alaihi al-hukmu). Manath ini harus dikaji dengan baik dalam dua keadaan:
pertama, dalam rangka proses istinbath hukum syara’ untuk menghukumi suatu
manath tertentu; kedua, dalam rangka menerapkan hukum syara’ yang sudah
ditetapkan pada suatu manath tertentu.*37)
Berdasarkan ini, maka ketidaktepatan memahami fakta permasalahan, akan dapat
menimbulkan kekeliruan penerapan nash-nash syara’ yang pada gilirannya akan
mengakibatkan kekeliruan fatwa atau ijtihad. Berkaitan dengan pendapat ulama
yang mengharamkan aksi bom manusia, penulis dapati mereka kurang cermat
memahami fakta yang akan menjadi objek hukum ini, yaitu tidak dapat membedakan
secara jernih aktivitas bom manusia dengan aktivitas bunuh diri. Padahal di
antara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar. Al-Qadah menjelaskan
perbedaan bunuh diri dan aksi bom manusia dalam 3 (tiga) aspek berikut:
Pertama, Motivasi. Motivasi orang yang melakukan aksi bom manusia adalah keinginan
untuk menegakkan kalimat Allah SWT. Sedangkan orang yang bunuh diri, jelas
tidak punya keinginan untuk menegakkan kalimat Allah, melainkan ingin
mengakhiri hidup karena berbagai kesulitan duniawi yang tidak sanggup lagi
dipikul, seperti penyakit berat, kegagalan cinta, kebangkrutan usaha,
kehancuran rumah tangga, dililit utang, dan sebagainya.
Kedua, Akibat di akhirat. Orang yang mati syahid mengorbankan dirinya dengan
cara aksi bom manusia, buahnya adalah surga, sebagaimana janji Allah dalam
banyak ayat al-Qur’an. Sedangkan akibat di akhirat bagi orang yang bunuh diri,
jelas bukan surga, karena yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya adalah adzab di
neraka, yaitu akan disiksa di neraka dengan cara yang sama yang digunakan untuk
bunuh diri di dunia.
Ketiga, Dampak duniawi. Orang yang melakukan aksi bom manusia dalam rangka
jihad, dampaknya adalah dapat mengguncang musuh, menanamkan ketakutan pada hati
musuh, atau melemahkan mental mereka dalam peperangan. Ini sebagaimana terjadi
di Lebanon, Sudan, Palestina, dan sebagainya. Sedang orang yang bunuh diri
dampaknya hanyalah menimbulkan kesedihan dan kepedihan keluarga, dan sama
sekali tidak ada dampak terhadap perlawanan kepada musuh.*38)
Perbedaan antara orang yang melakukan aksi bom manusia di jalan Allah dengan
orang yang bunuh diri, dapat diringkas dalam keterangan dibawah berikut:
*Bom Bunuh Manusia
Motivasi: Ingin menegakkan kalimat Allah SWT
Akibat Akhirat: Surga, karena termasuk mati syahid
Dampak Duniawi: Mengguncang musuh atau melemahkan mental musuh
*Bunuh Diri
Motivasi: Ingin mengakhiri kehidupan karena putus asa menghadapi kesulitan
duniawi
Akibat Akhirat: Neraka
Dampak Duniawi: Hanya menimbulkan kesedihan keluarga
Dengan adanya perbedaan seperti digambarkan di atas, jelas tidak tepat jika dikatakan
bahwa aksi bom manusia seperti yang dilakukan para mujahidin Palestina saat
ini, adalah tindakan bunuh diri yang konyol.
Namun demikian, menurut penulis pendapat Syaikh Shaleh Al-Utsaimin yang
menganggap aksi bom manusia sebagai tindakan bunuh diri, tidak dapat dianggap
mutlak salah. Dalam arti, pendapat tersebut masih dapat diterima dalam satu
keadaan, yaitu jika pelaku aksi pemboman niatnya memang untuk bunuh diri, bukan
untuk meninggikan kalimat Allah dalam rangka jihad di jalan Allah. Dalam kondisi
demikian, berlakulah kaidah fiqih:
Al-umuuru bi maqaashidiha “Segala sesuatu perkara tergantung pada
maksud-maksudnya.”*39)
Dengan demikian, jika seorang pelaku aksi bom manusia meniatkan aktivitasnya
untuk bunuh diri karena putus asa dan ingin lari dari kesulitan hidup, dan
tidak meniatkan untuk berjihad lillahi ta’ala, maka pada saat itu aktivitasnya
tergolong bunuh diri yang haram menurut syara’. Maka dalil-dalil ulama yang
mengharamkan aksi bom manusia seperti telah disebutkan di atas, dapat diterapkan
untuk kondisi seperti ini. Sedang jika pelaku aksi berniat meninggikan kalimat
Allah dan berjihad di jalan Allah, maka menurut penulis aktivitasnya tidak
dapat digolongkan bunuh diri.
Adapun pendapat Syaikh Nashiruddin Al-Albani yang mensyaratkan bahwa jihad
secara umum dan aksi bom manusia secara khusus wajib di bawah kepemimpinan
khalifah, menurut pandangan penulis, bukan pendapat yang kuat. Hal ini karena
dua alasan berikut:
Pertama, nash-nash yang mewajibkan jihad bersifat mutlak, tidak bersifat muqayyad,
dalam arti tidak disyaratkan jihad wajib dilakukan bersama seorang khalifah.
Misalnya firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar
kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah
bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.” (Qs. at-Taubah [9]: 123).
Ayat ini merupakan perintah melakukan jihad yang bersifat mutlak. Tidak ada
persyaratan bahwa jihad wajib dilaksanakan di bawah kepemimpinan khalifah. Jadi
keberadaan khalifah bukan syarat kewajiban jihad. Jihad tetap fardhu baik
ketika khalifah ada maupun tidak ada. Hal ini disebabkan nash-nash yang
bersifat mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang
menunjukkan taqyidnya, sebagaimana kaidah ushul:
Al-Uthlaaqu yabqa ‘ala ithlaaqihi ma lam yaqum dalilun ‘ala taqyiidihi “Lafazh
mutlak tetap dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang membatasinya
(taqyid).”*40)
Kedua, ada nash-nash hadits yang secara khusus mewajibkan jihad dalam segala
keadaan, baik kaum muslimin berada di bawah pemimpin yang adil maupun yang
fajir (fasik). Misalnya sabda Nabi Saw:
“Jihad itu tetap wajib atas kalian bersama setiap pemimpin, yang baik maupun
yang jahat. (Sebagaimana) shalat juga tetap wajib atas kalian di belakang seorang
muslim, yang baik ataupun yang jahat, sekali pun dia mengerjakan dosa-dosa
besar.” [HR. Abu Dawud dan Abu Ya’la].*41)
Atas dasar hadits ini, maka jihad tetap wajib dilaksanakan meskipun pemimpin
umat Islam adalah pemimpin yang zalim, termasuk di dalamnya pemimpin yang bukan
khalifah.
Maka dari itu, jelaslah bahwa menurut penulis, pandangan Al-Albani yang
mensyaratkan jihad harus di bawah pimpinan khalifah, adalah pandangan yang
lemah dan tidak dapat diterima. Sebagai implikasinya, aksi bom manusia saat ini
yang dilakukan di Palestina, pada saat khalifah kaum muslimin tidak ada
semenjak runtuhnya Khilafah di Turki tahun 1924, tetap sah dan pelakunya tidak
berdosa melakukannya.
VII. Kesimpulan
Dari seluruh uraian yang telah diutarakan, penulis menarik beberapa kesimpulan
berikut:
1. Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum melakukan aksi bom
manusia dalam peperangan melawan musuh kafir, seperti yang terjadi saat ini di
Palestina. Ada yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkan.
2. Dalil-dalil ulama yang membolehkan aksi bom manusia menurut penulis lebih
kuat daripada yang mengharamkan, dengan pertimbangan bahwa ulama yang
membolehkan mempunyai pemahaman fakta yang lebih jeli, dan dalil-dalilnya lebih
sesuai untuk fakta yang dimaksudkan. Sedang dalil-dalil ulama yang
mengharamkan, menurut penulis tidak sesuai dengan fakta permasalahan yang ada.
3. Ada perbedaan yang jelas antara aksi bom manusia dan tindakan bunuh diri,
baik dari segi motivasi, akibat di akhirat, dan dampaknya di dunia. Namun
demikian, aksi bom manusia bisa saja tergolong bunuh diri jika niatnya memang
untuk bunuh diri dan bukan untuk menegakkan kalimat Allah. [M. Shiddiq al-Jawi]
Jawab: I. Pendahuluan
Bom manusia —atau apa yang sering disebut bom bunuh diri— merupakan satu faktor signifikan dalam Krisis Palestina, karena mempunyai pengaruh efektif terhadap kebijakan politik di Palestina. Misalnya aksi bom manusia pada 12 Juni 2002 di Yerusalem yang mengakibatkan 20 warga Israel tewas dan 40 lainnya terluka. Kejadian ini membuat PM Israel, Ariel Sharon, menyatakan akan tetap menolak pendirian negara Palestina sampai aksi bom itu berhenti total.*1)
Di samping signifikansi aspek politis tersebut, aspek lain aksi bom manusia yang menarik adalah timbulnya pro kontra yang cukup tajam di kalangan para ulama dan cendekiawan mengenai hukumnya dalam fiqih Islam. Sebagian mengharamkannya sementara sebagian lainnya membolehkannya. Jurnal Inquiry and Analysis Series mendiskusikan soal legitimasi hukum bom manusia itu setidaknya sampai tiga bulan, dari Mei sampai Juli 2001. Yang terlibat dalam polemik ini tak hanya ulama fiqih, tetapi juga pakar politik, pengamat dunia Islam, serta kalangan pers. Diskusi antardispilin ilmu praktis terhenti ketika terjadi Tragedi 11 September di AS.*2)
Selain dalam jurnal ilmiah berbahasa Inggris, debat hukum bom manusia juga marak dalam media massa berbahasa Arab. Mufti Saudi Sheikh Abdul Aziz Abdullah Al-Sheik, pada majalah Al-Sharq Al-Awsat yang terbit di London, 21 April 2001 menyatakan. bahwa aksi suicide bombers (pelaku bom “bunuh diri”) itu bukan bagian dari jihad dan hanya merusak citra Islam. Dua hari kemudian, Yusuf Al-Qaradhawi dalam harian Al-Raya, 25 April 2001, terbitan Qatar, membantah fatwa mufti Saudi tersebut. Lalu dua hari berikutnya, 27 April 2001, dalam hariah Al-Hayat, Syaikh Al-Azhar Muhammad Sayyed Tantawi, menguatkan keabsahan aksi bom manusia dan berkomentar bahwa operasi bom itu adalah bagian dari jihad.*3)
Pro kontra hukum bom manusia juga mendorong sebagian ulama untuk menulis kitab khusus yang mendiskusikan hukumnya dalam perspektif fiqih Islam. Di antaranya adalah Nawaf Hail Takruri yang menulis kitab Al-‘Amaliyat Al-Istisyhidiyah fi Al-Mizan Al-Fiqhi*4) dan Dr. Muhammad Tha’mah Al-Qadah yang mengarang kitab Al-Mughamarat bi An-Nafsi fi Al-Qital wa Hukmuha fi Al-Islam.*5) Sementara itu Dr. Muhammad Khair Haikal mendiskusikan hukumnya dalam kitabnya yang sekaligus juga disertasi doktornya, Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar’iyah.*6)
Pro kontra inilah yang mendorong penulis untuk memilih tema hukum bom manusia dalam fiqih Islam. Kejelasan hukum syara’ sangat dibutuhkan dalam masalah yang amat krusial ini. Ini dikarenakan perbedaan yang ada cukup tajam dan mengandung berbagai implikasinya baik di dunia maupun di akhirat. Bagi mereka yang menganggap aksi bom manusia sebagai aksi bunuh diri (‘amaliyat intihariyah), maka implikasinya kepada para pelakunya ialah tidak diberlakukan hukum-hukum mati syahid. Dia akan dipandang sebagai orang hina karena berputus asa menghadapi kesulitan hidup. Di akhirat, pelakunya dianggap akan masuk neraka, karena telah bunuh diri. Sedang bagi mereka yang menganggap aksi bom manusia sebagai aksi mati syahid (‘amaliyat istisyhadiyah), maka implikasinya kepada para pelakunya adalah diberlakukan hukum-hukum mati syahid. Dia dianggap sebagai pahlawan dan teladan keberanian yang patut dicontoh. Dan di akhirat insyaAllah akan masuk surga.
Dalam makalah ini penulis memilih istilah “bom manusia”, sebagai terjemahan harfiyah dari sebagian literatur atau media berbahasa Inggris yang menyebut aksi pemboman ini dengan istilah “human bombing”. Istilah tersebut penulis pilih karena bersifat netral dan objektif. Sedangkan istilah lain, seperti “bom syahid” atau “bom bunuh diri” penulis anggap lebih bersifat subjektif dan kurang netral.*7)
II. Perumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan yang telah dipaparkan sebelumnya, masalah yang ada penulis rumuskan sebagai berikut:
1. Apakah bom manusia itu?
2. Bagaimana pendapat para ulama beserta dalil-dalilnya mengenai hukum bom manusia, baik yang melarang maupun yang membolehkan?
3. Manakah pendapat yang rajih (kuat) dari dua pendapat itu menurut kaidah-kaidah tarjih dalam disiplin ilmu ushul fiqih?
III. Metode Pembahasan
Dalam rangka menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas, metode pembahasan yang penulis akan tempuh adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan fakta bom manusia itu sendiri yang menjadi pangkal pembahasan. Dalam uraian mengenai fakta bom manusia ini, akan dijelaskan bagaimana secara teknis pelaksanaan bom manusia di lapangan. Penjelasan ini akan dilengkapi dengan data-data historis dan statistik mengenai bom manusia di Palestina.
2. Menjelaskan pendapat para ulama baik yang melarang maupun yang membolehkan aksi bom manusia. Akan dijelaskan juga dalil-dalil dari masing-masing pendapat tersebut.
3. Mendiskusikan dan mentarjih dua pendapat tersebut untuk mencari pendapat yang kuat (rajih).
Metode yang dipakai dalam penulisan makalah ini pada dasarnya adalah studi literatur (library research) dengan pendekatan perbandingan (comparative). Literatur yang digunakan adalah berbagai buku tentang hukum bom manusia, misalnya karya Takruri (2002), Al-Qadah (2002), ataupun Haikal (2002) seperti telah disebutkan di atas. Juga dimanfaatkan berbagai data dan informasi dari dunia maya (internet) yang relevan. Adapun perbandingan dan tarjih yang dilakukan, didasarkan pada kaidah-kaidah tarjih dalam ushul fiqih, baik yang terdapat dalam kitab ushul fiqih secara umum, seperti Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam karya Saifuddin Al-Amidi*8) dan kitab Irsyadul Fuhul karya Imam Asy-Syaukani*9), maupun kitab ushul fiqih yang secara khusus membahas masalah kaidah tarjih, seperti kitab Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’, karya Dr. Muhammad Wafaa.*10)
IV. Fakta Bom Manusia
Pemahaman akan fakta yang menjadi sasaran penerapan hukum, sangat fundamental dalam proses istinbath hukum syara’ atau penerapan (tathbiq) hukum syara’. Para ulama ushul fiqih telah membuat rumusan bahwa hukum syara’ terhadap suatu fakta adalah cabang dari gambaran atau pengetahuan tentang fakta itu (al hukmu ‘ala asy-syai` far’un min tashawwurihi wal ‘ilmi bihi).*11)
Atas dasar itu, penulis akan mencoba memaparkan lebih dahulu fakta-fakta yang berkaitan dengan bom manusia sebelum menyampaikan berbagai pendapat ulama mengenai fakta bom manusia. Fakta-fakta ini penulis bagi menjadi empat bagian, yaitu: (1) definisi bom manusia; (2) data historis; (3) data statistik, dan (4) informasi teknis pelaksanaan bom nanusia itu sendiri.
A. Definisi
Definisi bom manusia, menurut Muhammad Tha’mah Al-Qadah adalah aktivitas seorang mujahid yang melemparkan dirinya pada kematian untuk melaksanakan tugas berat, dengan kemungkinan besar tidak selamat, akan tetapi dapat memberi manfaat besar bagi kaum muslimin.*12)
Menurut Nawaf Hail Takruri, bom manusia adalah aktivitas seorang (mujahid) mengisi tas atau mobilnya dengan bahan peledak, atau melilitkan bahan peledak pada tubuhnya, kemudian menyerang musuh di tempat mereka berkumpul, hingga orang tersebut kemungkinan besar ikut terbunuh.*13) Dapat juga penyerangan dilakukan pada berbagai sarana transportasi bermuatan banyak orang, seperti bus, pesawat terbang, kereta api, dan sebagainya. Dapat pula teknis pelaksanaannya dengan berpura-pura menyerah kepada musuh, kemudian ketika dekat dengan mereka dan memperoleh kesempatan, ia meledakkan bahan-bahan peledak yang dibawanya, sehingga menimbulkan banyak korban, baik yang terbunuh, terluka, atau mengalami kerusakan bangunan, dan termasuk juga terbunuhnya pelaku peledakan sendiri.*14)
B. Data Historis
Di Palestina, aksi bom manusia telah berlangsung setidaknya dalam 23 bulan terakhir (hingga September 2002).*15) Tepatnya, hal itu bermula ketika Sejak Syeikh Ahmad Yasin —tokoh spiritual Hamas dan inspirator gerakan jihad yang masih ada— merestui upaya Nabil Arir (24 tahun) meledakkan permukiman Israel di Kota Gaza, pada 26 Oktober 2000.
Para pelaku aksi pada umumnya berasal dari berbagai kelompok Islam yang melakukan jihad dan perlawanan terhadap Israel, yaitu Brigade Al-Qosam, Brigade Al-Aqso, Hamas, Al-Fatah, Hizbullah, Islamic Jihad, dan Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP). Menurut investigasi The Guardian, Brigade Al-Qosam —sayap militer Hamas— merupakan pemasok relawan jihad terbesar di Palestina. Dalam 56 aksi bom syahid terakhir (hingga Juli 2002), kelompok ini memasok sekitar 20 kadernya. Urutan berikutnya adalah kelompok Brigade Al-Aqsho, Islamic Jihad, dan Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP). Masing masing menyumbang 14, 11, dan dua mujahid.*16)
C. Data Statistik
Aksi bom manusia yang dilakukan di Palestina sejak bulan Oktober tahun 2000 telah mengakibatkan gugurnya 250 mujahid, yang umumnya berusia di bawah 30 tahun. Sebagian besar mereka adalah kaum muda yang sedang berada dalam usia produktif dan dinamis. Bahkan, dalam 56 aksi terakhir, pelakunya berusia di bawah tiga puluh tahun. Tiga orang di antaranya adalah wanita: Wafa Idris (27 tahun), Ayat Al-Akhras (16 tahun) dan Dari Abu Aysheh (20 tahun).*17)
Harian Yedioth Aharonot terbitan Israel, pada bulan Mei 2001 mempublikasikan data tentang tipikal para pelaku aksi bom manusia tersebut sebagai berikut:
a. sebanyak 67% pelaku aksi adalah kalangan terpelajar. Setidaknya sejumlah 39% pernah mengenyam bangku sekolah menengah atas (high school).
b. sebanyak 83% pelaku aksi adalah mereka yang masih lajang (single).
c. sebanyak 64% pelaku aksi berusia antara 18 hingga 23 tahun. Sisanya (36%), hampir semuanya berusia di bawah 30 tahun.
d. sebanyak 68% pelaku aksi berasal dari penduduk Tepi Barat.*18)
Mengenai opini penduduk Palestina tentang aksi bom manusia itu sendiri, sebuah jajak pendapat (polling) telah dilakukan oleh Palestinian Center for Public Opinion (PCPO) yang dipimpin Dr. Nabil Kukali, pada akhir Mei 2001. Respondennya adalah penduduk Palestina dewasa yang ada di Tepi Barat, Jalur Gaza, termasuk juga Yerussalem Timur. Hasilnya adalah:
a. dalam jumlah mayoritas (76,1%) muslim Palestina mendukung aksi bom manusia.
b. sejumlah kecil responden (12,5%) menolaknya (tidak setuju).
c. sejumlah 11,4% dari responden tidak menyatakan pendapatnya (abstain).*19)
D. Teknis Pelaksanaan Aksi
Seorang pelaku aksi pemboman akan mengalami 4 (empat) tahapan yang harus dilalui hingga dia menjalankan aksinya. Empat tahap itu adalah: (1) pengetesan (seleksi), (2) rekrutmen, (3) persiapan, dan (4) pelaksanaan aksi. Semua tahap-tahap ini umumnya dilaksanakan oleh berbagai brigade jihad yang ada di Palestina.*20)
Pada tahap seleksi, seorang calon pelaku aksi akan dibawa ke kamp pelatihan dan diamati terlebih dahulu perilakunya selama beberapa hari. Dilakukan juga wawancara dan diskusi dengannya. Dalam seleksi ini, akan dinilai apakah seorang calon pelaku aksi memenuhi kriteria yang ditetapkan. Menurut Sholah Syehada, Komandan Batalion Al-Qossam, calon pelaku aksi harus memenuhi empat kriteria, yaitu: (1) harus betul-betul seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam, dan direstui oleh orangtuanya; (2) bukan merupakan tulang punggung keluarganya; (3) memiliki kemampuan dan keahlian melakukan misi; dan (4) dapat menjadi teladan bagi muslim lainnya agar mengikuti jejaknya.*21)
Pada tahap rekrutmen, seorang calon aksi berarti dinilai sudah memenuhi kriteria-kriteria tersebut dan dianggap telah resmi bergabung dengan sebuah brigade serta siap menjalankan misi.
Pada tahap persiapan, seorang calon digembleng selama 20 hari dalam kamp pelatihan. Seorang instruktur akan melakukan diskusi mendalam dengan para calon tentang agama Islam. Para calon juga diajak menonton video tentang para syuhada dan menganalisis serangan yang telah dilakukan pendahulu mereka itu. Ketika persiapan sudah komplet dan mantap, para calon memasuki tahap pelaksanaan aksi.
Pada tahap pelaksanaan aksi, seorang anggota dari unit lain akan menjemput seorang calon dan menemaninya melakukan perjalanan akhir. Setelah deskripsi tugasnya ditentukan, pengebom diberi tahu secara persis pada menit-menit terakhir apa yang harus dilakukan, misalnya apakah ia akan menjadi pengebom “bunuh diri” atau menyerang target dengan granat dan senapan sampai akhirnya ia ditembak mati.
Bila ia ditentukan menjadi pengebom “bunuh diri”, dia segera mengenakan rompi yang sudah diisi dengan 10 kilogram bahan peledak dan lima kilogram paku serta baja. Ini kira-kira 15 menit sebelum ia diterjunkan ke sasaran. Di saat itulah ia diberitahu secara persis sasaran yang harus dihancurkan dengan dirinya yang sudah “berbaju” bom. Sasaran ini bisa berupa sebuah bus, pesawat terbang, kereta api, sebuah gedung pertemuan umum, sebuah supermarket, jalan yang padat pengunjung, dan sebagainya.
V. Pendapat Ulama
Secara garis besar terdapat dua pendapat ulama dalam masalah aksi bom manusia tersebut, yaitu sebagian membolehkan dan sebagian lainnya mengharamkan. Di antara ulama masa kini yang membolehkan adalah:
1. Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili (Dekan Fakultas Syariah Universitas Damaskus).
2. Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili (Ketua Jurusan Fiqih dan Ushul Fiqih Fakultas Syariah Universitas Damaskus).
3. Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi (Ketua Jurusan Theologi dan Perbandingan Agama Fakultas Syariah Universitas Damaskus).
4. Dr. Ali Ash-Shawi (Mantan Ketua Jurusan Fiqih dan Perundang-undangan Fakultas Syariah Universitas Yordania).
5. Dr. Hamam Said (Dosen Fakultas Syariah Universitas Yordania dan anggota Parlemen Yordania).
6. Dr. Agil An-Nisyami (Dekan Fakultas Syariah Universitas Kuwait).
7. Dr. Abdur Raziq Asy-Syaiji (Guru Besar Fakultas Syariah Univesitas Kuwait).
8. Syaikh Qurra Asy-Syam Asy-Syaikh Muhammad Karim Rajih (ulama Syiria).
9. Syaikhul Azhar (Syaikh Muhammad Sayyed Tanthawi).
10. Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi (ulama Mesir).
11. Fathi Yakan (aktivis dakwah Ikhwanul Muslimin).
12. Dr. Syaraf Al-Qadah (ulama Yordania).
13. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi (ulama Qatar).
14. Dr. Muhammad Khair Haikal (aktivis dakwah Hizbut Tahrir).
15. Syaikh Abdullah bin Hamid (Mantan Hakim Agung Makkah Al-Mukarramah).
Sementara itu ulama kontemporer yang mengharamkan aksi bom manusia antara lain:
1. Syaikh Nashiruddin Al-Albani (ulama Arab Saudi).
2. Syaikh Shaleh Al-Utsaimin (ulama Arab Saudi).
3. Syaikh Hasan Ayyub.
A. Dalil-Dalil Yang Membolehkan
Al-Qadah dalam kitabnya Al-Mughamarat bi An-Nafsi fi Al-Qital wa Hukmuha fi Al-Islam telah menyebutkan sekitar 20 dalil syara’ yang mendasari bolehnya melakukan aksi bom manusia, yang dihimpunnya dari pendapat-pendapat ulama yang membolehkan aksi bom manusia ini.*23) Di antaranya adalah:
1. Firman Allah SWT
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri, dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan al-Qur`an.” (Qs. at-Taubah [9]: 111).
Al-Qadah mengatakan bahwa wajhud dalalah (segi pemahaman dalil) dari ayat ini adalah, bahwa perang di jalan Allah mempunyai resiko besar berupa kematian (wa yuqtalun “dan mereka terbunuh”). Padahal kematian ini merupakan sesuatu yang kemungkinan besar atau pasti akan terjadi pada aksi bom manusia. Akan tetapi meski demikian, Allah SWT tetap memerintahkannya dan memberikan pahala surga bagi yang melaksanakannya. Perintah Allah SWT ini menunjukkan izin dari Allah untuk melaksanakannya.*24)
2. Firman Allah SWT:
“Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur (terbunuh) atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.” (Qs. an-Nisaa` [4]:74).
Wajhud dalalah dari ayat ini, menurut Al-Qadah, adalah bahwa Allah SWT menyamakan pahala orang yang gugur dengan pahala orang yang mampu mengalahkan musuh karena membela agama Allah. Dan orang yang melakukan aksi bom manusia, dalam hal ini termasuk dalam kategori orang yang gugur di jalan Allah tadi, bukan termasuk orang yang bunuh diri. Sebab andaikata termasuk orang yang bunuh diri, Allah tidak akan memberikan pahala besar baginya, tetapi malah akan memasukkannya ke dalam neraka, seperti keterangan dalam hadits-hadits Nabi Saw.*25)
3. Firman Allah SWT:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. al-Baqarah [2]: 195)
Ayat ini tidak melarang aktivitas perang di jalan Allah yang dapat membuat diri sendiri terbunuh. Atau dengan kata lain, membolehkan aktivitas perang semacam itu. Dan aksi bom manusia termasuk aktivitas perang yang dapat membuat pelakunya terbunuh. Pemahaman ini didasarkan pada penjelasan shahabat bernama Abu Ayyub Al-Anshari yang mengoreksi pemahaman yang salah terhadap ayat tersebut, yang dipahami sebagai larangan mengorbankan diri dalam peperangan.*26)
Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Yazib bin Abi Habib telah meriwayatkan dari Aslam bin Imran, yang berkata, ‘Kami berperang melawan pasukan Konstantinopel dan pasukan saat itu dipimpin oleh Abdurrahman bin Al-Walid. Pada waktu itu orang-orang Romawi telah merapat pada benteng kota. Kemudian seseorang maju ke tengah barisan musuh. Ketika itu orang-orang berkata, ‘Laa ilaaha illallah, ia menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan.’ Maka berdirilah Abu Ayyub Al-Anshari seraya berkata, ‘Subhanallah, Allah telah menurunkan ayat ini pada kami sekalian orang Anshar. Ketika Allah telah menolong Nabi-Nya dan menampakkan agama-Nya, kami orang Anshar berkata, ‘Kita akan diam (tidak berperang) dan akan mengurus harta-harta kami. Kemudian turunlah firman Allah “maka belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (Qs. al-Baqarah [2]: 195). Dan yang dimaksud dengan menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan adalah kesibukan kami mengurus harta dan meninggalkan jihad.”*27
Al-Qadah menyimpulkan, bahwa dengan demikian, ayat ini menunjukkan bolehnya mempertaruhkan nyawa dalam peperangan, meskipun yakin akan terbunuh. Aksi bom manusia termasuk jenis aktivitas seperti ini.*28)
4. Firman Allah SWT:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya namun Allah mengetahuinya.” (Qs. at-Taubah [9]: 97).
Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan bahwa aksi-aksi bom manusia termasuk dalam bentuk jihad yang paling besar. Aksi ini termasuk dalam aksi-aksi teror (irhab) sebagaimana yang tertera dalam ayat di atas.*29)
4. Hadits Nabi Saw sebagaimana riwayat Imam Muslim berikut:
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah pernah pada Perang Uhud hanya bersama tujuh orang Anshar dan dua orang dari kaum Quraisy. Ketika musuh mendekati Nabi Saw, beliau bersabda, “Barangsiapa bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia akan masuk surga, atau ia bersamaku di surga.” Kemudian satu orang dari Anshar maju dan bertempur sampai gugur. Musuh mendekat lagi dan Rasulullah bersabda lagi, “Barangsiapa bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia akan masuk surga, atau ia bersamaku di surga.” Kemudian satu orang dari Anshar maju dan bertempur sampai gugur. Dan hal ini terus berlangsung sampai ketujuh orang Anshar tersebut terbunuh.” [HR. Muslim].*30)
Ketika Nabi Saw mengatakan, “Barangsiapa bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia akan masuk surga…” adalah sebuah isyarat bahwa mereka akan terbunuh di jalan Allah, dan dalam hal ini kematian hampir dapat dipastikan. Peristiwa ini menunjukkan bolehnya mengorbankan diri sendiri —seperti halnya aksi bom manusia— dengan keyakinan akan mati di jalan Allah.*31)
B. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan
Sebagian ulama seperti Nashiruddin Al-Albani dan Syaikh Shaleh Al-Utsaimin mengharamkan aksi bom manusia. Berikut pendapat mereka dan dalil-dalilnya:
1. Syaikh Nashiruddin Al-Albani ketika ditanya hukum aksi bom manusia, beliau menjawab bahwa aksi bom manusia dibenarkan dengan syarat adanya pemerintahan Islam yang berlandaskan hukum Islam, dan seorang tentara harus bertindak berdasarkan perintah pemimpin perang (amirul jaisy) yang ditunjuk khalifah. Jika tidak ada pemerintahan Islam di bawah pimpinan khalifah, maka aksi bom manusia tidak sah dan termasuk bunuh diri.*32)
2. Syaikh Shaleh Al-Utsaimin ketika ditanya mengenai seseorang yang memasang bom di badannya lalu meledakkan dirinya di tengah kerumunan orang kafir untuk melemahkan mereka, beliau menjawab bahwa tindakan itu adalah bunuh diri. Pelakunya akan diazab dalam neraka Jahannam dengan cara yang sama yang digunakan untuk bunuh diri di dunia, secara kekal abadi. Beliau berdalil dengan firman Allah SWT yang melarang bunuh diri:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. an-Nisaa` [4]: 29).
Beliau juga berdalil dengan hadits-hadits Nabi Saw yang melarang bunuh diri, seperti hadits Nabi Saw:
“Barangsiapa yang mencekik lehernya, ia akan akan mencekik lehernya sendiri di neraka. Dan barang siapa yang menusuk dirinya, ia akan menusuk dirinya sendiri di neraka.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].*33)
VI. Diskusi Dan Tarjih
Dengan mendalami pendapat masing-masing baik yang membolehkan maupun yang mengharamkan aksi bom manusia, penulis berpendapat bahwa pendapat yang kuat (rajih) adalah pendapat yang membolehkan aksi bom manusia. Aksi ini menurut penulis bukanlah tindakan bunuh diri dan dengan demikian pelakunya insya Allah akan mendapatkan surga, bukan neraka.
Parameter yang penulis gunakan untuk menilai pendapat yang lebih kuat adalah ketepatan penggunaan dalil terhadap fakta yang menjadi permasalahan. Hal ini sangat penting mengingat salah satu langkah penting dalam proses istinbath hukum adalah fahmul waqi’, atau memahami fakta yang menjadi sasaran penerapan hukum. Untuk dapat menerapkan suatu ketentuan fiqih secara tepat, seorang faqih harus mengetahui fakta yang akan dihukumi. Thaha Jabir Al-Alwani ketika menyebutkan pengertian fiqih, menyatakan bahwa fiqih adalah pengetahuan seorang faqih (ahli fiqih) terhadap hukum suatu fakta (al-waqi’ah) yang diambil dari dalil-dalil yang rinci dan parsial yang telah ditetapkan Asy Syari’ (Allah) untuk menunjukkan hukum-hukumnya.*34) Definisi ini mengisyaratkan satu hal penting yang harus dimiliki seorang faqih, yaitu pengetahuan tentang fakta permasalahan (al-waqi’ah). Maka dari itu, sebagaimana ditegaskan oleh Yusuf Al-Qaradhawi, di antara sebab-sebab kesalahan fatwa adalah ketidakpahaman tentang masalah yang ditanyakan, sehingga keliru menerapkan nash-nash syara’ yang dimaksud dengan kejadian yang sebenarnya.*35)
Memahami fakta dengan baik ini, menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, adalah langkah pertama dari seseorang yang akan mengistinbath hukum syara’ untuk fakta itu. Menurut An-Nabhani metode yang harus ditempuh seorang mujtahid dalam mengistinbath hukum adalah: pertama, mengkaji masalah yang ada sehingga dipahami dengan sempurna; kedua, mengkaji nash-nash syara’ yang berkaitan dengan masalah tersebut; ketiga, mengistinbath hukum syara’ untuk masalah tersebut dari dari dalil-dalil syar’i.*36)
Fakta yang harus dipahami dan menjadi objek penerapan hukum syara’ ini oleh An-Nabhani disebutnya dengan istilah manath, yang menurut beliau manath adalah fakta yang padanya akan diterapkan suatu hukum syara’ (al-waqi’ alladzi yuthabbaqu ‘alaihi al-hukmu). Manath ini harus dikaji dengan baik dalam dua keadaan: pertama, dalam rangka proses istinbath hukum syara’ untuk menghukumi suatu manath tertentu; kedua, dalam rangka menerapkan hukum syara’ yang sudah ditetapkan pada suatu manath tertentu.*37)
Berdasarkan ini, maka ketidaktepatan memahami fakta permasalahan, akan dapat menimbulkan kekeliruan penerapan nash-nash syara’ yang pada gilirannya akan mengakibatkan kekeliruan fatwa atau ijtihad. Berkaitan dengan pendapat ulama yang mengharamkan aksi bom manusia, penulis dapati mereka kurang cermat memahami fakta yang akan menjadi objek hukum ini, yaitu tidak dapat membedakan secara jernih aktivitas bom manusia dengan aktivitas bunuh diri. Padahal di antara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar. Al-Qadah menjelaskan perbedaan bunuh diri dan aksi bom manusia dalam 3 (tiga) aspek berikut:
Pertama, Motivasi. Motivasi orang yang melakukan aksi bom manusia adalah keinginan untuk menegakkan kalimat Allah SWT. Sedangkan orang yang bunuh diri, jelas tidak punya keinginan untuk menegakkan kalimat Allah, melainkan ingin mengakhiri hidup karena berbagai kesulitan duniawi yang tidak sanggup lagi dipikul, seperti penyakit berat, kegagalan cinta, kebangkrutan usaha, kehancuran rumah tangga, dililit utang, dan sebagainya.
Kedua, Akibat di akhirat. Orang yang mati syahid mengorbankan dirinya dengan cara aksi bom manusia, buahnya adalah surga, sebagaimana janji Allah dalam banyak ayat al-Qur’an. Sedangkan akibat di akhirat bagi orang yang bunuh diri, jelas bukan surga, karena yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya adalah adzab di neraka, yaitu akan disiksa di neraka dengan cara yang sama yang digunakan untuk bunuh diri di dunia.
Ketiga, Dampak duniawi. Orang yang melakukan aksi bom manusia dalam rangka jihad, dampaknya adalah dapat mengguncang musuh, menanamkan ketakutan pada hati musuh, atau melemahkan mental mereka dalam peperangan. Ini sebagaimana terjadi di Lebanon, Sudan, Palestina, dan sebagainya. Sedang orang yang bunuh diri dampaknya hanyalah menimbulkan kesedihan dan kepedihan keluarga, dan sama sekali tidak ada dampak terhadap perlawanan kepada musuh.*38)
Perbedaan antara orang yang melakukan aksi bom manusia di jalan Allah dengan orang yang bunuh diri, dapat diringkas dalam keterangan dibawah berikut:
*Bom Bunuh Manusia
Motivasi: Ingin menegakkan kalimat Allah SWT
Akibat Akhirat: Surga, karena termasuk mati syahid
Dampak Duniawi: Mengguncang musuh atau melemahkan mental musuh
*Bunuh Diri
Motivasi: Ingin mengakhiri kehidupan karena putus asa menghadapi kesulitan duniawi
Akibat Akhirat: Neraka
Dampak Duniawi: Hanya menimbulkan kesedihan keluarga
Dengan adanya perbedaan seperti digambarkan di atas, jelas tidak tepat jika dikatakan bahwa aksi bom manusia seperti yang dilakukan para mujahidin Palestina saat ini, adalah tindakan bunuh diri yang konyol.
Namun demikian, menurut penulis pendapat Syaikh Shaleh Al-Utsaimin yang menganggap aksi bom manusia sebagai tindakan bunuh diri, tidak dapat dianggap mutlak salah. Dalam arti, pendapat tersebut masih dapat diterima dalam satu keadaan, yaitu jika pelaku aksi pemboman niatnya memang untuk bunuh diri, bukan untuk meninggikan kalimat Allah dalam rangka jihad di jalan Allah. Dalam kondisi demikian, berlakulah kaidah fiqih:
Al-umuuru bi maqaashidiha “Segala sesuatu perkara tergantung pada maksud-maksudnya.”*39)
Dengan demikian, jika seorang pelaku aksi bom manusia meniatkan aktivitasnya untuk bunuh diri karena putus asa dan ingin lari dari kesulitan hidup, dan tidak meniatkan untuk berjihad lillahi ta’ala, maka pada saat itu aktivitasnya tergolong bunuh diri yang haram menurut syara’. Maka dalil-dalil ulama yang mengharamkan aksi bom manusia seperti telah disebutkan di atas, dapat diterapkan untuk kondisi seperti ini. Sedang jika pelaku aksi berniat meninggikan kalimat Allah dan berjihad di jalan Allah, maka menurut penulis aktivitasnya tidak dapat digolongkan bunuh diri.
Adapun pendapat Syaikh Nashiruddin Al-Albani yang mensyaratkan bahwa jihad secara umum dan aksi bom manusia secara khusus wajib di bawah kepemimpinan khalifah, menurut pandangan penulis, bukan pendapat yang kuat. Hal ini karena dua alasan berikut:
Pertama, nash-nash yang mewajibkan jihad bersifat mutlak, tidak bersifat muqayyad, dalam arti tidak disyaratkan jihad wajib dilakukan bersama seorang khalifah. Misalnya firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.” (Qs. at-Taubah [9]: 123).
Ayat ini merupakan perintah melakukan jihad yang bersifat mutlak. Tidak ada persyaratan bahwa jihad wajib dilaksanakan di bawah kepemimpinan khalifah. Jadi keberadaan khalifah bukan syarat kewajiban jihad. Jihad tetap fardhu baik ketika khalifah ada maupun tidak ada. Hal ini disebabkan nash-nash yang bersifat mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan taqyidnya, sebagaimana kaidah ushul:
Al-Uthlaaqu yabqa ‘ala ithlaaqihi ma lam yaqum dalilun ‘ala taqyiidihi “Lafazh mutlak tetap dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang membatasinya (taqyid).”*40)
Kedua, ada nash-nash hadits yang secara khusus mewajibkan jihad dalam segala keadaan, baik kaum muslimin berada di bawah pemimpin yang adil maupun yang fajir (fasik). Misalnya sabda Nabi Saw:
“Jihad itu tetap wajib atas kalian bersama setiap pemimpin, yang baik maupun yang jahat. (Sebagaimana) shalat juga tetap wajib atas kalian di belakang seorang muslim, yang baik ataupun yang jahat, sekali pun dia mengerjakan dosa-dosa besar.” [HR. Abu Dawud dan Abu Ya’la].*41)
Atas dasar hadits ini, maka jihad tetap wajib dilaksanakan meskipun pemimpin umat Islam adalah pemimpin yang zalim, termasuk di dalamnya pemimpin yang bukan khalifah.
Maka dari itu, jelaslah bahwa menurut penulis, pandangan Al-Albani yang mensyaratkan jihad harus di bawah pimpinan khalifah, adalah pandangan yang lemah dan tidak dapat diterima. Sebagai implikasinya, aksi bom manusia saat ini yang dilakukan di Palestina, pada saat khalifah kaum muslimin tidak ada semenjak runtuhnya Khilafah di Turki tahun 1924, tetap sah dan pelakunya tidak berdosa melakukannya.
VII. Kesimpulan
Dari seluruh uraian yang telah diutarakan, penulis menarik beberapa kesimpulan berikut:
1. Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum melakukan aksi bom manusia dalam peperangan melawan musuh kafir, seperti yang terjadi saat ini di Palestina. Ada yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkan.
2. Dalil-dalil ulama yang membolehkan aksi bom manusia menurut penulis lebih kuat daripada yang mengharamkan, dengan pertimbangan bahwa ulama yang membolehkan mempunyai pemahaman fakta yang lebih jeli, dan dalil-dalilnya lebih sesuai untuk fakta yang dimaksudkan. Sedang dalil-dalil ulama yang mengharamkan, menurut penulis tidak sesuai dengan fakta permasalahan yang ada.
3. Ada perbedaan yang jelas antara aksi bom manusia dan tindakan bunuh diri, baik dari segi motivasi, akibat di akhirat, dan dampaknya di dunia. Namun demikian, aksi bom manusia bisa saja tergolong bunuh diri jika niatnya memang untuk bunuh diri dan bukan untuk menegakkan kalimat Allah. [M. Shiddiq al-Jawi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar