Sabtu, 28 September 2013

cerpen awal persahabatan



Keinginan kecil yang terwujud
Oleh: gunawan wibisono

Bukit- bukit hijau yang berdiri  kokoh di hamparan tanah, hembusan angin pagi bercampur dengan suara  gemuruh ombak, udara dingin yang menyusup sampai ke tulang tak menghalangi Purwito untuk tetap berjalan, walaupun ia sudah mengenakan celana yang tebal, dan jaket  namun yang ia rasakan tetaplah dingin. Berbekal satu buah tingkat, dan singkong rebus yang telah di sediakan simboknya, Purwito berjalan melewati hutan pinus hingga sampai ke tebing- tebing. Ia harus berhati- hati melewati tebing tersebut karena jika tidak hati- hati ia bias terperosok dan jatuh ke laut. Tetapi seperti kebanyakan orang yang setiap harinya berada di daerah itu, Purwito dengan lincah melewati  tebing dan sampai di dasar tebing yang tingginya kira- kira hanya 25 meter dari permukaan laut. Tapi itu di saat air laut surut, jika air laut sedang pasang dasaran tebing yang berukuran kira- kira 10x 6 itu akan tenggelam oleh air laut.
Di tempat itu juga biasanya orang- orang dari jogja yang datang memancing, dan yang menjadi perhatian Purwito adalah salah satu dari kolompok orang- orang itu ada yang masih remaja, ia tidak tau pasti berapa umurnya, biasa lebih tua atau mungkin malah sebaya.
Tak hilang rasa penasaran Purwito, ia segera ke tempat yang biasa ia gunakan untuk memasang perangkap ikan. Ia menuju ke gua setengah lingkaran dengan atap sebuah batu besar di pojok tebing, dan disitu ternyata sudah ada karyo yang duduk di depan api
            ‘’ Sudah disini sejak jam berapa Kar?’’ Tanya Purwito yang langsung ikut duduk di sebelah Karyono.
            ‘’Lumayan lama, kira- kira sekitar sejam yang lalu aku disini’’ jawab Karyo.
            ‘’Lha sudah dapat ikan berapa?’’ Tanya Purwito.
            ‘’Baru dapat tiga, krapu sama tongkolnya dua’’ ujar Karyo sambil menunjur karung tempat ikan.
            ‘’Seharusnya ikannya banyak sekarang, air laut surut  tapi kok ikannya sepi!’’ kata Purwito.
            ‘’Mau gimana lagi Wit, kalau memang Allah hanya menghendaki dapat tiga, di trima saja lah’’ jawab Karyo.
            ‘’Memang sih, Kamu bawa rendet yang kemarin aku titipkan sama kamu ngak Kar?’’ tanya Purwito.
            ‘’Ini aku bawa’’ jawab Karyo sambil mengulurkan rendet kapada Purwito.
Rendet adalah semacam perangkap ikan yang berbentuk lingkaran, lalu di dalam lingkaran itu terdapat tali- tali kecil dan di tengahnya di beri umpan. Bila ada ikan yang mendekati umpan itu pasti akan terjerat oleh tali- tali yang terpasang.
Purwito mengambil rendet tersebut lalu memasangkan umpan yang telah ia bawa dari rumah. Kemudian pada rendet itu diberi timbel berupa batu, lalu di lempar ke laut menggunakan tongkat, tidak lupa pada bagian rendet di beri tali agar dapat di ambil kembali.
            ‘’Oh ya,, orang- orang yang sering datang memancing kemari itu kok tidak datang ya?’’ Tanya Purwito.
            ‘’Ah, pasti yang ingin kamu tanyakan soal anak kecil itu lagi kan?’’ tebak Karyo.
            ‘’Dia bukan anak kecil kar, dia itu seumuram sama kita’’ juwab Purwito.
            ‘’Memang, kamu belum lihat di Ngading? Kemarin sore aku lihat rombongan orang- orang jogja itu disana lagi pasang tenda’’ jelas Karyo.
            ‘’Benarkah? Apa anak itu juga ikut? tanya Purwito penasaran.
            ‘’Aku kurang tahu, coba saja nanti kamu kesana’’ jawab Karyo.
            ‘’Baiklah’’ kata Purwito bersemangat.
            ‘’Tapi makan dulu Wit, ini aku bawa singkong rebus’’ kata Karyo sambil membuka bungkusan berisi singkong.
            ‘’Aku  juga bawa seniri kok kar’’ kata Purwito.
            ‘’Ya sudah kita makan dulu saja’’ ajak Karyo.
Mereka berdua lalu makan ingkong rebus tersebut. Setelah lama berada disitu dan ikan yang di dapat juga tidak begitu banyak mereka pun pulang, di perjalanan pulang seperti yang telah di sepakati mereka melewati Ngading dan Purwito pun senang ketika tahu bahwa anak yang ia maksud ternyata juga ikut.
                                    ~                                  ~                                  ~
             ‘’Sudah pulang Wit?’’ sambut Simboknya ketika Purwito sampai di rumah.
            ‘’Sudah mbok ini ikannya cuma dapat empat’’ kata Purwito sambil meletakan ikan di ember.
            ‘’Ya sudah sekarang kamu istirahat dulu’’ jawab Simboknya.
Purwito segera duduk di kursi dan menyeruput secangkir kopi hangat yang di buatkan Simboknya. Memang Purwito lelah setelah mencari ikan, namun setelah minum kopi buatan simboknya rasa lelah itu seakan hilang, lalu ia memandang keluar, pohon kelapa, pohon jati, dan pohon ketela yang di tanam di depan rumahnya, lalu purwito mengalihkan pandangannya ke candela dan heranlah dia ketika di situ ada sebuah mobil.
            ‘’Itu mobilnya siapa Mbok?’’ tanya Purwito penasaran.
            ‘’Ooh, itu mobilnya pak Nugroho’’ jawab Simboknya.
            ‘’Pak Nugroho itu siapa Mbok?’’ tanya Purwito lagi.
            ‘’Simbok juga ndak tau Wit, tapi beliau sudah sering datang kemari cuma buat mancing di karang’’ kata Simboknya.
            ‘’Sudah di situ sejak kapan Mbok?’’tanya Purwito tambah penasaran.
            ‘’Sudah sejak kemarin to le, kemarin kamu lagi di belakang pas rombongannya pak Nugroho simbok persilahkan masuk’’ jelas Simboknya.
            ‘’Lha kok tumben parkirnya di sini Mbok?’’ tanya Purwito
            ‘’Iya, soalnya kalau titip di tempatnya maman masih agak jauh dari karang kasihan sama nak Fahmi’’ jelas simboknya lagi.
Purwito yakin bahwa nak fahmi yang di katakan simboknya adalah anak yang sering ia perhatikan. Purwito jadi tambah senang, jika mobil yang di gunakan rombongan itu berada di sini pasti mereka akan mampir kemari. Dan harapan untuk bisa menjadi temannya akan terwujud.
            ‘’Oh ya Mbok, kalau Simbok tau dia umurnya berapa? tanya Purwito.
            ‘’Maksudnya nak Fahmi? Katanya kemarin dia sudah kelas tiga SMA’’ jawab Simboknya.
            ‘’Berarti umurnya sekitar 18 tahun mbok’’ kata Purwito.
            ‘’Lha berarti sebaya sama kamu wit’’ sahut Simboknya.
            ‘’Iya Mbok, tapi bedanya dia sekolah sampai SMA sedangkan aku hanya sampai SD’’ jawab Purwito murung.
            ‘’Sudahlah Wit, dia itu kan anak orang kaya, sedangkan kita ini bukan dari golongan orang yang kaya. Sebenarnya Simbok juga ingin melihat kamu sekolah sampai SMA tapi keadaan kita seperti ini’’ kata Simboknya dengan terisak.
            ‘’Jangan di pikirkan Mbok, walaupun Wito tidak sekolah tapi Wito tetap sayang sama simbok sebagai orang tua, simbok sudah merawat wito semampu simbok dan wito sudah menganggapnya lebih dari cukup’’ jawab Purwito sambil merangkul bahu ibunya.
            ‘’Andai bapakmu masih hidup Wit, mungkin hidup kita tidak seperti ini’’ kata simboknya sambil mengusap air mata.
            ‘’Huus! Simbok ini lho, biarkan Bapak tenang di alam sana Mbok. Ya sudah Wito mau nyari kayu dulu buat nanti sore, Simbok istirahat saja’’  kata Purwito.
            ‘’Iya wit, hati- hati’’jawab Simboknya.
Di perjalanan Purwito merasa bersalah telah membuat Simboknya menangis, bagaimanapun keadaan keluarganya Purwito tetap menyayangi Simboknya.
Dan lama kelamaan Purwito menjadi ragu ingin menjadi teman anak dari jogja itu apakah dia mau menjadi temannya sedangkan Purwito hanyalah lulusan SD dan hidupnya yang kekurangan, Sedangkan dia anak dari orang yang kaya. Purwito lalu teringat kata Bapaknya kalau orang dari jogja itu ramah- ramah, Purwito mulai berfikir apakah anak itu juga ramah? Semoga memang benar.
                                    ~                                  ~                                  ~
            Pagi itu Purwito menuju ke Ngading, karena kemarin ia memasang perangkap disana. Sebuah tali yang terikat pada batu karang menandakan di situlah letak rendetnya. Dengan berlahan Purwito menarik tali itu, dan saat itu ada orang yang menyapanya.
            ‘’Permisi? Boleh saya ikut duduk di sini?’’ tanya seseorang tersebut.
            ‘’Silakan- silakan!’’ jawab Purwito, begitu ia menoleh kaget lah ia ketika yang berbicara itu adalah anak itu yaitu Fahmi.
            ‘’Sudah dapat ikan berapa?’’ tanya Fahmi.
            ‘’Ee… sudah,, belum dapat’’ jawab Purwito gugup.
            ‘’Oh ya, kenalkan nama saya Fahmi, lengkapnya Fahmi Yusuf Ismail’’ kata Fahmi sambil mengulurkan tangan kepada Purwito.
            ‘’Nama saya.. Purwito, di panggil saja wito’’ kata Purwito sambil berjabat tangan dengan Fahmi.
            ‘’Maaf  kalau saya menganggu panjenengan masang perangkap ikan’’ kata Fahmi.
             ‘’Oh tidak apa- apa, saya justru senang di temani’’ jawab Purwito.
Mereka berdua pun duduk bersama, Fahmi asyik memancing sedangkan Purwito asyik dengan rendetnya. Purwito benar- benar tidak menyangka bahwa dia akan dapat bertemu dengan fahmi, anak dari jogja. Anak yang ramah seperti yang di katakan almarhum ayahnya, walaupun Purwito tidak sekolah dan hidup kekurangan tapi Fahmi tetap bersikap baik kepada Purwito. Dan seiring berjalannya waktu mereka saling mengenal dan akhirnya menjadi sahabat.


                                                                                                                        tamat